Kisah Mistis Gunung Ciremai, 2 Kali Bertemu Pendaki Misterius dan Diikuti Penunggu

kisah_mistis_pendakian_gunung_ciremai_via_palutungan

JelajahLagi.id - Gunung Ciremai yang dijuluki "Sang Atap Jawa Barat" ini memang memiliki pesona tersendiri yang tak kalah indahnya. Namun di balik pesona keindahan gunung dengan ketinggian 3.078 MDPL ini juga menyimpan banyak kisah misteri.

Bahkan ada yang bilang bahwa di Gunung Ciremai ini terdapat kerajaan setan dan juga tempat berkumpulnya para dedemit. Sehingga di masyarakat berkembang menjadi cerita-cerita horor yang pernah dialami baik oleh masyarakat sekitar Gunung Ciremai maupun para pendaki.


Dan kali ini saya JL akan bercerita tentang kisah pendakian kedua saya ke Gunung Ciremai ini via jalur pendakian Palutungan, Kuningan. Yang menurut saya sangat berbeda dan penuh misteri dan beberapa kejadian yang membuat bulu kuduk berdiri.


Sebenarnya rencana awalnya kita akan mendaki gunung Ciremai via Apuy setelah mendapat info bahwa pendakian kembali di buka setelah ditutup karena wabah Covid 19. Namun hingga 3 hari menjelang keberangkatan kami mendapat informasi kalau jalur Apuy hanya dibuka untuk pendaki yang ber KTP Majalengka saja.


Karena hal tersebut akhirnya kita memutuskan untuk lewat jalur Palutungan yang sudah dibuka untuk pendaki dari luar daerah Kuningan dan Majalengka. Pas hari H akhirnya kita berkumpul di salah satu rumah kenalan Kang Rain di Kuningan. Setelah lengkap semua 10 orang kita langsung tancap gas ke basecamp Palutungan.


Selama perjalanan ke basecamp kita diperlihatkan pemandangan langka Gunung Ciremai dengan awal tudung di atasnya. Sungguh pemandangan yang indah dan mempesona dan membuat kita berhenti di pinggir jalan lalu mengabadikannya dengan kamera. Tentu sambil membeli logistik yang masih kurang untuk di bawa.


Tapi walaupun indah tapi di puncak Ciremai kemungkinan sedang terjadi badai. Entah itu badai angin atau pun hujan karena memang awan tersebut sangat berbahaya terutama jika berada di dalamnya.


Setelah melakukan registrasi dan pengecekan barang-barang kita mulai pendakian sekitar pukul 9.30 pagi (29 Agustus 2020). Rombongan terdiri dari 10 orang yang terdiri dari 6 laki-laki (saya JL dari Brebes, kang Rain dari Bandung, Haidar dari Cirebon dan Asbo, Kiki serta Fahmi dari Subang) dan 4 orang pendaki perempuan (teh Intan, teh Nurul, teh Resti dan teh Liana yang semuanya dari Bandung).


Seperti biasa saya memang selalu membawa kamera untuk merekam setiap pendakian. Memang rencananya pendakian kali ini saya akan membuat sebuah video dokumentasi. Sembari menggendong keril yang lumayan saya terus mengarahkan kamera dan merekam setiap momen dalam pendakian.


Sampi pos 1 Cigowong kurang lebih tepat pada tengah hari sekitar jam 12.00. Disini kita beristirahat cukup lama untuk mengisi ulang air sekaligus shalat Dzuhur. Sekitar jam 1 kita mulai melanjutkan pendakian dan mulai dari sinilah beberapa kejadian aneh mulai terasa.


Saat menuju pos 2 saya merekam sebuah footage video melalui kamera dimana disana terdapat pohon tumbang yang menghalangi jalur pendakian. Karena saya rasa itu adalah moment yang harus diabadikan biar videonya jadi lebih seru. Saat menekan tombol record, saya merasa ada sesuatu yang tak enak di hati ketika mengarahkan kamera kearah teh Resti yang sedang melewati pohon besar yang tumbang tersebut diikuti Kiki yang berada di paling belakang. Karena perasaan tersebut saya buru-buru mengakhiri rekaman tersebut dan mematikan kamera.


Setelah itu tiba-tiba kabut yang lumayan tebal turun dan menghalangi jarak pandang. Kita sempat break sejenak dan setelah kabut semakin tipis kita melanjutkan perjalanan. Memang suasana pendakian ketika itu sangat sepi sekali berbeda degan saat saya pertama kali mendaki Gunung Ciremai dulu yang lumayan rame.


Mungkin ini efek karena baru dibuka setelah ditutup karena covid 19 dan juga pembatasan kuota pendakian. Ditambah lagi dari luar Kuningan dan Majalengka harus melampirkan surat bebas covid jadi membuat para pendaki mengurungkan niatnya.


Setelah pos 3 rombongan terpecah menjadi 2 dimana 4 orang di rombongan depan dan 6 orang di rombongan belakang. Dari sinilah hal aneh terjadi pada kamera saya dimana tiba-tiba tak bisa merekam video. Lalu saya coba lepas baterainya dan dimasukin lagi lalu coba merekam ternyata masih gak bisa. Ditambah lagi indikator baterainya tiba-tiba naik turun.


Saat itu saya berfikir mungkin karena kondisi cuaca berkabut yang dingin berpengaruh pada baterainya. Akhirnya ketika sampai di pos 4 saya langsung memasukkan kamera ke dalam tas dan melepas baterainya. 


Sementara itu rombongan pertama yang sudah terlebih dahulu sampai di pos 4 sudah masak air hangat dan juga mie instan. Disini kita pun berhenti sejenak bersama satu rombongan lain yang juga sedang memasak untuk makan siang.


Kondisi saat itu kabut masih turun dan suasana pun begitu sepi. Kita sempat berpapasan dengan pendaki yang turun katanya diatas angin kencang dan badai. Tak hanya itu Ranger Gunung Ciremai juga memang sebelumnya mengatakan bahwa kondisi di puncak angin kencang jadi kalau semisal mau summit harus hati-hati.


Kami pun melanjutkan pendakian dan akhirnya sekitar jam 17.30 sampai di Pos 6 Pesanggrahan yang merupakan tempat kita ngecamp. Seperti biasa kita langsung mendirikan tenda, memasak makan malam dan bercengkrama sembari menikmati kopi hitam ditengah dinginnya udara yang mencapai 10 drajat.


Usai makan malam bersama kita mulai siap-siap istirahat karena rencna kita akan mulai summit sekitar jam 2 pagi. Di camp area Pos 6 sendiri hanya ada beberapa kelompok pendaki saja yang bisa dihitung jari. Gak sampai penuh seperti pada saat dahulu saya pertama kali mendaki Ciremai di bulan Agustus. Bahkan saat itu kita gak kebagian tempat di pos 6 karena sudah penuh. Hal itu membuat kita saat itu harus camp naik sedikit dari pos 6 di tanah yang agak lapang di pinggir jalur pendakian yang hanya muat sekitar 7 tenda saja.


Langit malam pun semakin gelap dan suara angin kencang yang menghantam pepohonan begitu membuat suasana mencekam. Baru saja masuk SB dan memejamkan mata suasana camp area pos 5 tiba-tiba rame. Ternyata ada si bagas (babi ganas) yang menyerang salah satu tenda rombongan dari Bogor. Beruntung masih ada ranger yang berjaga di Pos 6 jadi babi pun bisa diusir dari tenda mereka.


Namun ternyata hal tersebut tak bertahan lama sekitar 1 jam kemudian si bagas kembali membuat gaduh camp area pos 5. Dan lagi-lagi mereka menyasar tenda pendaki dari Bogor tersebut. Mereka dan Ranger yang jaga pun berusaha mengusir si Bagas tersebut sembari membunyikan bunyi-bunyian dari nesting dan alat-alat masak.


Padahal sebelumnya pas pemeriksaan tiket sudah diingatkan untuk menggantung logistik makanan dan sampah ketika mau tidur karena banyak si Bagas yang gemar silaturahmi. Sekitar jam 10 malam keadaan kembali sunyi dan saya pun melanjutkan tidur yang kebangun terus karena kejadian tersebut.


Menjelang tengah malam tiba-tiba ada suara si Bagas yang mengendus-ngendus di dekat tenda kita. Karena kaget saya langsung membangunkan Asbo dan bilang ada babi di luar. Sambil berjaga takutnya si Bagas nyeruduk tenda dan ganggu tenda perempuan saya pun mencoba mengintip keluar tenda. Beruntung si Bagas hanya lewat saja dan gak nyerang tenda kita.


Akhirnya bisa tenang dan lanjut tidur lagi. Namun seperti biasa saat di gunung saya tidur gak nyenyak dan haya tidur ayam-ayaman saja dimana setiap sejam sekali bangun. Ya memang kaya gitu sih saya tidurnya kalau naik gunung.


Dan akhirnya jam 2 pun tiba saya coba bangunin kang Rain dan yang lainnya tapi mereka susah banget bangunnya. Mungkin karena efek suhu diluar yang begitu dingin disertai suara angin kencang yang mencekam. Ujung-ujungnya baru pada bangun jam 3 itupun karena tenda perempuan udah pada bangun duluan dan langsung nanya, jadi summit gak? Udah jam 3 nih.


Setelah siap-siap dan bikin air hangat serta makan beberapa camilan kita pun bersiap untuk summit attack ke puncak atap Jawa Barat. Sebelum berangkat kita pun berdoa bersama dan kali ini rombongan tetangga tenda pun ikut summit bareng kita. Pukul 3.30 pagi ditemani udara dingin dan suara pepohonan yang diterpa angin yang mencekam kami pun memulai perjalanan summit attack.


Di tengah perjalanan tiba-tiba Haidar menyerah dan pengen balik lagi ke tenda karena gak enak badan. Padahal sudah jalan sekitar 1 jam an. Kejadian ini pun mengingatkan saya pada pendakian pertama ke Ciremai. Dimana kejadiannya pun sama ada salah satu reman rombongan yang menyerah di tengah jalan dan minta balik ke tenda.


Singkat cerita cahaya keemasan khas yang indah pun mulai tampak. Sayangnya saat sunrise mulai terlihat kita masih berada di jalur pendakian tepatnya di Simpang Apuy. Setelah bersusah payah sambil sedikit merangkak akhirnya sampai juga di pos terakhir Goa Walet. Sempat berhenti cukup lama di Goa Walet karena menunggu rombongan lengkap karena ada yang masih tertinggal di bawah.


Sambil menunggu saya mengeluarkan kamera dan mengambil beberapa potret lanskap yang begitu khas. Beruntung kamera masih bisa nyala dan merekam video karena kejadian di antara pos 2 itu membuat kamera saya error. Tapi tak lama kemudian baterai kamera saya yang tadinya penuh langsung drop dan hanya sisa satu bar saja dan gak bisa lagi buat motret padahal belum muncul tanda baterai habis daya.


Akhirnya saya ambil baterai cadangannya untuk menggantinya. Tapi kamera saya kembali error dimana pas ganti baterai indikator dayanya masuh full tapi pas baru motret sekali malah langsung drop dan gak bisa buat motret lagi. Saya langsung geleng-geleng kepala ini kamera kenapa sih. Padahal dulu bawa satu baterai pun ke Ciremai masih aman bahkan sampai pulang masih terisa satu bar. Saat itu saya berfikir mungkin kerena baterainya kedinginan akhirnya error dan cepat drop seperti itu.


Setelah rombongan kembai lengkap, barulah kita melanjutkan summit dan sampai puncak sekitar jam setengah 8 dimana matahari sudah begitu terik. Sesampainya di puncak kita langsung disambut dengan angin kencang, beruntung cuaca saat itu cerah cetar membahana.


Setelah puas foto-foto di puncak akhirnya sekitar pukul 10.30 kita turun. Dalam perjalanan turun ini kita membagi menjadi 2 kelompok yakni kelompok pertama yang turun duluan untuk masak dan juga beres-beres tenda. Sementara kelompok dua tetap turun tapi dengan kecepatan santai saja. Maklum karena di kelompok ke dua ini kebanyakan ibu-ibu. Teh Resti, Teh Liana dan Teh nurul yang jalannya memang santai apalagi kalau turun. Saya dan Fahmi juga ada di kelompok 2 buat ngawal dan backup ibu-ibu ini.


Disaat turun summit ini lah kejadian aneh kembali terjadi di rombongan kita. Pertama lebah merah terus mendekati kami sejak dari Pos 6 Sanghyang Ropoh. Lebah tersebut terus-terusan terbang di dekat kami terutama di dekat teh Resti. Meskipun kadang terbang menjauh tapi tak lama kemudian ia kembali lagi.


Padahal biasanya di Ciremai itu kita akan didekati oleh lebah hitam di jalur pendakian. Dan kata orang setempat lebah hitam tersebut jangan diganggu atau di usir karena mereka percaya bahwa lebah hitam tersebut adalah jelmaan prajurit.


Kali ini malah si lebah hitam tersebut sama sekali tak terlihat baik sejak pendakian maupun turun dan yang sering menghampiri adalah lebah merah yang lebih ramping. Entah dia juga merupakan jelmaan para prajurit dari kerajaan ghaib di gunung Ciremai atau bukan. Tapi yang jelas dia seolah-olah menggantikan peran si lebah hitam.


Tak hanya lebah merah tersebut, ada keganjilan lainnya yang saya rasakan saat perjalanan turun summit tersebut. Tepatnya setelah melewati Pos Pesanggrahan Lama. Disana kita bertemu dengan beberapa pendaki yang sedang memasak setelah turun dari puncak. Namun setelah melewati mereka tiba-tiba ada seorang laki-laki yang mengikuti kami di belakang.


Anehnya dia tak seperti para pendaki lainnya yang menyapa. Kita berhenti dia ikut berhenti, kita jalan ia mengikuti jalan. Tapi pas saya perhatikan dengan seksama dia selalu memalingkan mukanya ke arah lain. Seolah tak mau menatap saya padahal saat itu saya berada paling depan dan dia tepat berada di belakang Fahmi yang berada dibelakang.


Saat itu memang kita berjalan pelan sekali tapi anehnya dia seolah tak mau nyalip kita. Padahal kalau pendaki biasa mah dia bakalan nyalip atau paling gak nanya dari rombongan mana biar bisa turun bareng.


Saya sempat berfikir bahwa dia salah satu dari rombongan yang ngecamp di pos Pesanggrahan lama dan ingin cari spot buat buang air. Tapi pikiran tersebut terbantahkan karena dia mengikuti kami lama sekali dan jaraknya dari pos Pesanggrahan lama sudah jauh.


Saat adzan Dzuhur terdengar maka kita menghentikan perjalanan sejenak sampai adzan selesai dan si laki-laki misterius tersebut juga mengikuti kita berhenti sejenak. Namun masih tetap memalingkan mukanya saat saya pandang.


Setelah adzan Dzuhur usai kita mulai bergerak lagi menelusuri jalur pendakian. Tapi saat saya menoleh ke belakang ternyata si laki-laki misterius tersebut sudah tak terlihat lagi.


Saya pun sempat bertanya kepada Fahmi yang berada di belakang menanyakan perihal laki-laki misterius tersebut. Tapi kata Fahmi dia memang aneh dan perasaannya agak begitu aneh dengan laki-laki tersebut.


Akhirnya tak lama kemudian sampai lah di Pos 6 Pesanggrahan dan kita pun mulai menyiapkan makan siang serta bongkar tenda dan packing untuk turun. Usai makan siang dan packing kita pun berdoa bersama dan mulai turun.


Selama perjalanan turun juga terjadi beberapa kejadian aneh dimana saya melihat akar-akar di pinggir jalur pendakian yang menyerupai wajah seorang anak kecil atau boneka. Dan saya berfikir hal itu mungkin karena efek kabut yang mulai turun dan juga rasa lelah. Namun ketika saya melihat lagi ke arah akar-akar terebut seolah dalam hati saya merasakan bahwa di sana ada sesuatu selain manusia.


Tak hanya akar tersebut tepat di turunan sebelum sampai di Pos 4 ini saya melihat adanya kayu pohon kecil yang tumbang menyerupai kepala naga. Awalnya sempat biasa saja mungkin juga hanya penglihatan sejenak. Namun setelah di lihat dengan seksama mirip sekali dengan kepala naga atau ular.


Padahal saat pendakian saya tak melihat kayu yang ujungnya seperti kepala naga tersebut. Bahkan saya sampai mengamati samapi dimana ujung kayu kepala naga tersebut. Dan anehnya ia hanya pohon kecil dan ukurannya itu seperti tubuh ular sanca hanya lebih besar sedikit. Pohon tersebut roboh menimpa jalur pendakian tapi ujungnya malah melengkung keatas seperti ular kobra yang diujungnya menyerupai kepala naga atau ular patahannya.


Melihatnya membuat bulu kuduk saya berdiri karena takurnya pas kita lewat malah dia matok kaya ular. Saya pun ingat sewaktu pendakian pertama dulu dan saat lewat di lebah tersebut saya merasa ada yang sedang mengawasi dan melihat dari semak-semak sebelah kiri (kalau turun).


Ternyata keanehan tak terhenti disana saja. Kini giliran teh Intan yang mengalaminya diantara pos 2 dan pos 1. Ia bercerita bahwa saat dirinya kebelet pengen buang air dan pos 1 sudah dekat. Dia menitipkan kerilnya kepada Kiki dan langsung lari ke pos 1. Bahkan Kki yang mengawalnya pun ketinggalan. Namun katanya tiba-tiba dia dihadang sesuatu yang hitam dan lewat melintasi jalur di depannya. Karena kaget sekaligus takut teh Intan pun langsung putar arah dan lari naik lagi hingga bertemu dengan Kiki. Saat bertemu di pos 1 teh Intan bilang seperti lihat babi lewat saat ia lari-lari tersebut. 


Sampai di Pos 1 sekitar jam 4 sore dan istirahat sejenak serta shalat juga. Namun disana kita pecah jadi 2 rombongan dimana kang Rain, Asbo, Fahmi, dan Haidar turun duluan sambil bawa 2 tas keril perempuan.


Sementara itu Kiki dan teh Intan tak lama kemudian menyusul mereka untuk turun. Seperti biasa Kiki bawa 2 keril karena teh Intan sudah sangat kelelahan. Dan saya pun masih menunggu Teh Nurul, Teh Resti dan teh Liana shalat. Usai shalat selesai tepatnya sekitar jam setengah 4.15 sore kita melanjutkan perjalanan. Saat itu di Pos hanya tinggal rombongan kita dan rombongan pendaki dari Bogor dan rombongan pendaki dari Tangerang serta ada 2 orang runner trail yang baru sampai Pos 1.


Karena kaki sudah mulai lelah akhirnya perjalanan turun ke basecamp pun semakin lambat. Sampai-sampai di tengah perjalanan kita disalip oleh rombongan dari Bogor. Namun keanehan mulai terjadi lagi ketika sampai di jalur Curug. Saat itu saking lelahnya saya bawa 2 keril saya pun duduk di trek sebentar dan minum. Namun tiba-tiba perasaan saya dari awah curug tepatnya di belakang seperti ada yang melihat. Tapi setelah saya nengok tak ada siapapun hanya ada suasananya yang semakin gelap karena hari sudah mulai menjelang maghrib.


Setelah tertinggal dan terpisah dari rombongan Bogor serta di salip rombongan Tangerang karena jalan yang semakin melambat. Maklum 3 ibu-ibu di depan saya sudah sangat kelelahan dan bahkan katanya kakinya udah gak berasa lagi alias seperti mati rasa. Jadi langkahnya tak bisa jauh atau lebar lagi.


Sehingga di tengah perjalanan Adzan Maghrib pun terdengar dan kita memutuskan untuk berhenti sejenak sampai adzan selesai. Namun sebelum adzan maghrib berkumandang kita seolah diikuti oleh lutung yang melompat dari pohon kepohon di atas jalur pendakian. Tak hanya itu si lutung pun mengikuti kami sejak berjalan di bawah hutan pinus di dekat Pos 1.


Namun setelah adzan maghrib berkumandang si lutung yang bearada tepat diatas kita tiba-tiba pergi. Kami pun melajutkan perjalanan setelah adzan maghrib selesai ditemani dengan langit yang mulai gelap. Saat itu perjalanan baru setengah diantara pos 1 ke pintu rimba atau gerbang lutung jalur palutungan.


Setelah melewati persimpangan antara jalur pendakian dan jalur evakuasi tiba-tiba saya merasa ada sesuatu di belakang kami. Deg! di hati saya dan secara reflek ditambah dengan perasaan cemas saya langsung menengok ke belakang dan ternyata tak ada siapa-siapa. Tak lama terlihat lah dua pendaki trial runner yang muncul di persimpangan jalur evakuasi. Melihat dua orang tersebut membuat hati saya tiba-tiba kembali tenang dan sedikit lega karena kita bukan kelompok yang terakhir.


Kedua pendaki trial runner tersebut memilih jalur evakuasi yang berada di samping jalur pendakian yang kita susuri. Dan tak lama kemudian kita pun tersalip karena beda kecepatan langkah. Saya pun menyuruh Teh Nurul yang paling depan untuk belok dan ambil jalur yang sama dengan kedua pendaki trial runner tersebut biar ada temannya. Dan kebetulan di depan ada jalur setapa yang menghubungkan jalur evakuasi dan jalur pendakian.


Setelah semuanya berbelok dan saya pun belok tiba-tiba ada bunyi sepatu dan lonceng khas pendaki yang terdengar dari belakang kami. Dan ternyata memang saya melihat seorang pendaki laki-laki dengan tas hitam dan membawa kwali serta perlengkapan lainnya yang ia gantung di keril tersebut. Dia sendirian dan anehnya yang saya lihat sekilas mukanya terlihat pias dan tubuhnya seperti glowing mengeluarkan cahaya keputihan gitu.


Saat itu saya merasa ada yang aneh dengan pendaki tersebut dan saat kita mengambil jalur belok dia tetap lurus. Lalu tiba-tiba setelah melewati pohon di depannya dia tak terlihat lagi seperti menghilang entah kemana. Hal tersebut juga dirasakan dan dilihat oleh Teh Nurul yang berada paling depan kalau pendaki tersebut menghilang setelah melewati pohon tersebut.


Dari situ saya semakin cemas dan sedikit lebih waspada mengingat Gunung Ciremai sendiri memang memiliki segudang misteri. Dan tak lama kemudian kita pun tak bisa lagi melihat kedua pendaki trial runner yang sudah jauh meninggalkan kita. 


Langit semakin gelap ditambah dengan pepohonan tinggi dan semak di sisi kanan dan kiri jalur membuat suasana semakin mencekam. Perjalanan kami pun semakin lambat karena Teh Nurul di paling depan tak ada penerangan karena hanya saya yang membawa headlamp. Dan saya menyinari jalur dari paling belakang.


Lalu tiba-tiba Teh Nurul terjatuh seperti ada yang mengganjal langkahnya di jalur di bawah pohon pinus dan semak. Setelah istirahat sejenak dan saya pun menyuruh yang hp nya masih nyala tolong di pakai untuk penerangan di depan karena tak mungkin saya berada di depan untuk menjadi penunjuk jalan.


Setelah itu perjalanan pun kembali dilanjutkan dengan langit yang semakin pekat dan gelap ditemani perasaan yang semakin mencekam. Kita berjalan diantara semak-semak bunga yang menutupi kiri-kanan jalur. Suasana kembali tambah mencekam setelah saya mendengar suara "kresek kresek" seperti ada sesuatu yang melintas membelah semak-semak dari sisi kiri ke sisi kanan tepat di belakang saya.


Awalnya saya mengira suara itu adalah suara gesekan celana dengan semak-semak bunga yang menutupi jalur. Namun suara dan sensor hati saya menangkap suara tersebut membelah jalur ditambah lagi suara tersebut berjarak sekitar 2 meter di belakang saya.


Usai suara tersebut suasna menjadi lebih mencekam ditambah pikiran saya kemana-mana dan menerka apa yang barusan lewat di belakang tersebut. Mau mencoba nengok kebelakang nanti malah tambah membuat yang depan semakin khawatir.


Akhirnya saya hanya menerka-nerka apa yang lewat apakah lutung, tapi itu gak mungkin karena suaranya di bawah tanah semak-semak. Kalau babi gakmungkin karena dia jalannya pasti ngikutin jalur. Dan yang paling mungkin sepertinya hanya macan kumbang atau yang sejenisnya.


Karena menjurus kesana saya tak henti-hentinya memanjatkan doa dan menyuruh semuanya untuk mempercepat lagkahnya karena sudah semakin gelap. Dan ternyata tak hanya saya saja yang mengalaminya Teh Nurul juga katanya melihat sesuatu di jurang yang berada di sisi kiri kita yang seolah mengikuti kita.


Pokoknya suasana saat itu sangat mencekam ditambah saya membackup 3 ibu-ibu dengan sambil membawa 2 keril depan belakang. Yang Pasti kalau terjadi apa-apa akan sulit untuk bergerak. Bahkan saking mencekamnya saya sempat berfikir kalau ternyata benar suara yang kresek-kresek di belakang sya itu adalah macan kumbang atau sejenisnya yang sedang ngikutin kita. Saya pun berfikir klau dia menyerang pasti saya yang pertama di serang dan saat itu mungkin saya akan menyuruh yang lain untuk lari. Tapi semoga saja dugan saya salah dan hanya hewan yang tak berbahaya yang lewat.


Semakin lama akhirnya kita sampai di sebuah pondok yang lebih mencekam dan seperti ada yang melihat kita dari arah pondok tersebut. Saat itu sekitar jam 7 malam menjelang adzan isya. Setelah melewati pondok tersebut saya merasa agak lega karena tinggal turun di trek batu lalu sampai lah di hutan pinus ipukan. Namun Teh Nurul yang berada di depan malah bertanya, "Ini benar jalurnya?"


Saya jawab, "Benar kok, lanjut aja." Tak lama kemudian sekitar 5 menit berjalan Teh Nurul kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama. Dan kali ini ditambahin, "Kok jalurnya beda dengan pas kita naik ya?" Akhirnya saya menegaskan bahwa ini adalah jalur yang benar untuk turun dan jelas-jelas saya masih ingat jalur ini. Selain itu saya bukan pertama kalinya lewat jalur tersebut melainkan kedua kalinya sehingga masih jelas di pikiran bahwa itu adalah jalur yang benar untuk turun.


Dan akhirnya sampailah di jalur turunan batu yang menandakan saatnya berganti jalur ke jalur besar di hutan pinus Ipukan. Namun tiba-tiba Teh Resti terjatuh saat menuruni tanjakan batu ini. Untung saja tak terluka hanya saja sepertinya memang kelelahan. Suasana mencekam pun semakin menurun karena sudah dekat dengan pintu rimba dan jalur yang dilaluipun sangat besar dan luas serta tak terlalu gelap lagi. Seolah terbebas dari kekhawatiran akan suara kresek-kresek terjadi sebelumnya.


Baru berjalan beberapa saat adzan Isya pun berkumandang dan seperti biasa kita berhenti sejenak menunggu adzan selesai sembari istirahat. Saat istirahat tersebut perasaan mencekam agak berkurang dan jalur sudah agak terbuka dan lebar.


Kita pun melanjutkan perjalanan dengan sisa tenaga yang ada untuk segera sampai ke basecamp. Meskipun jalur menjadi lebar dan tak rimbun lagi tapi saya merasa seolah seperti berjalan di sebuah pintu gerbang. Karena di semak-semak sisi kanan dan kiri jalur selalu ada spot hitam yang gelap yang disana banyak kunang-kunang berterbangan di sekitar spot hitam dan gelap itu.


Kalau perasaan saya sih seperti penjaga namun dia gak menganggu gitu hanya diam saja melihat kita berjalan. Dan tak hanya satu atau 2 spot gelap hitam dengan kunang-kunang tersebut tapi ada lebih dari 10 spot disana dan saling berpasangan di kiri dan kanan. Sambil berjalan tak henti-hentinya saya membaca doa dan ayat kursi saling bergantian sejak langit mulai gelap.


Akhirnya setelah 15 menit berjalan kita pun sampai di sebuah pondok kecil yang menjadi tempat pemeriksaan tiket pendakian. Namun di sana tak ada siapapun padahal saya berharap ada salah satu ranger disana. Kami pun melanjutkan langkah dan saya tahu tinggal sebentar lagi sampai di gerbang lutung atau pintu rimba.


Namun saat sudah dekat dengan belokan tiba-tiba ada suara-suara seperti suara raungan hewan dari jurang sebelah kanan kita. Saat itu suasana kembali berubah agak mencekam dan saya pun kembali bilang untuk mempercepat langkah. 


Saat di jalur menurun dimana pintu rimba sudah semakin dekat tiba-tiba ada teriakan dari arah gerbang lutung memanggil saya. Dan ternyata itu adalah Teh Intan yang sudah sampai terlebih dahulu di gerbang lutung. Seketika hati saya menjadi tenang karena kita bertemu lagi dengan orang lainnya.


Sampainya di gerbang lutung atau pintu rimba kita istirahat sejenak untuk melepas lelah. Dan tentu saja berbagi cerita mencekam yang baru saja kita alami. Selain itu Teh Intan sama Kiki memang sengaja menunggu kami di pintu rimba karena khawatir. Dimana mereka ber dua juga merasakan hal yang aneh pas turun saat hari mulai gelap. 


Bahkan sampe nanyain ke setiap pendaki yang turun perihal kami berempat. Dan akhirnya saya pun menanyakan tadi yang turun adakah pendaki yang sendirian pakai keril hitam dan bawa kwali (pendaki misterius) di kerilnya turun gak? Kata Teh Intan yang terakhir mereka hanya ketemu dua pendaki trial runner yang turun lari-lari. Setelah itu tak ada siapa-siapa lagi hingga kita sampai di sana.


Selain itu Teh Intan pun bercerita kalau ada rombongan pendaki dari Bogor yang kehilangan salah satu temannya. Tapi ternyata setelah sampai di basecamp eh rombongan dari bogor tersebut sudah lengkap dan lagi enak makan bakso.


Di basecamp kita ber empat pun bercerita tentang hal mencekam selama pendakian dan terutama saat turun gunung dan kemalaman di jalur pendakian. Dan ternyata rombongan pertama yang turun (Kang Rain, Asbo, Fahmi, dan Haidar) tak mengalami kejadian aneh apa pun karena mereka maghrib sudah sampai di basecamp Palutungan.


Setelah laporan cekout dan pemeriksaan sampah serta ambil jatah makan per orang 1 porsi. Kita pun meninggalkan basecamp dan berkumpul di rumah temannya Kang Rain, Teh Eno (lupa namanya teteh siapa gitu panggil aja Teh Eno deh ya) yang berada di kuningan kota.


Sebagai orang kuningan tentu Teh Eno ini sudah tau bagaimana Gunung Ciremai dan misteri yang ada di dalamnya. Makanya saat jam 5 belum sampai ke basecamp Palutungan pasti terjadi sesuatu dan nyata saja ada hal-hal aneh yang terjadi.


Selama di rumah beliau kita bercerita kejadian aneh selama pendakian sambil gantian mandi padahal airnya dingin pake banget. Saat kita cerita tentang pendaki aneh saat turun summit teh Eno langsung menjawab sepertinya itu adalah aden aden atau manusia setengah siluman. Dan biasanya suka muncul saat maghrib atau siang bolong( dzuhur). Dan sosoknya manusia muda atau kakek-kakek dengan ciri khas tak ada lekukan di bawah hidung ke bibir.


Saya pun langsung menjawab cocok soalnya waktunya juga sama siang hari. Lanjut teh Eno pun bercerita bahwa beberapa hari sebelumnya ada informasi dari pendaki yang ngecamp di pos 1. Katanya saat setelah shalat magrib di mushala pos 1 mereka bertemu kakek-kakek tua berbaju putih yang memberitahu untuk camp aja di pos 1.


Dan saat kita bercerita tentang pendaki yang glowing serta membawa kwali yang diikat ke kerilnya serta stylenya seperti pendaki jaman dahulu. Teh Eno pun bilang kemungkinan dia pendaki yang tersesat atau pindah alam lain atau istilahnya disuputkeun.


Beruntung saat itu kita ambil jalur yang sama dengan dua pendaki trail runner. Untung gak jalan lurus seperti jalur yang diambil pendaki misterius tersebut entah apa yang akan terjadi. Soalnya pendaki misterius tersebut menghilang saat telah melewati pohon.


Memang saat waktu maghrib menjadi batas tipis antara alam dunia dengan alam lain sehingga kadang bertabrakan dan menghasilkan kejadian aneh dan mencekam. Ditambah lagi memang pas waktu maghrib adalah waktu setan sedang berpesta sehingga kadang suasananya pun sangat mencekam. 


Sehingga memang disarankan saat mendaki gunung ketika sudah jam 5 atau menjelang maghrib, maka lebih baik kita berhenti dan mendirikan tenda. Karena pendakian saat mlam hari sangat beresiko tinggi selain gangguan hal-hal mistis. Pandangan kita tentang jalur pendakian juga semakin terbatas. Ditambah lagi saat malam hari kita akan berebut oksigen dengan pepohonan dan bisa membuat nafas kita terengah-engah. Selain itu dinginnya udara malam bisa membuat suhu tubuh drop dan kalau sudah drop bahaya banget loh bisa terkena hipotermia.


Sehingga jadilah pendaki yang bijak dimana melakukan pendakian pada siang hari dan malam hari adalah waktunya istirahat. Ya anggap saja kita mendaki gunung itu hanya berubah tempat makan, minum, dan tidur tapi tanpa mengubah waktu istirahat kita.


Seperti biasa sehari setelah pulang ke rumah di group rame dengan foto dan cerita-cerita mencekam selama pendakian. Tiba-tiba teh Angel japri dan dia minta di ceritain kejadian aneh apa saja yang terjadi selama pendakian ke gunung Ciremai tersebut. Saya pun menceritakanya secara runtut mulai dari keanehan yang terjadi pada kamera saya diantara pos 2 dan pos 3 hingga bertemu dengan pendaki misterius saat turun dan kemalaman di jalur.


Teh Angel malah tertawa dan dia bilang cocok. Lah saya bingung donk tiba-tiba bilang gitu sambil ketawa lagi. Dia pun menceritakan bahwa alasan dirinya batal ikut bukan karena lagi PMS. Tapi karena satu minggu sebelum pendakian, teh Angel mimpi kalau dirinya diajak ke hutan gunung Ciremai oleh sosok kakek-kakek tua berbaju putih.


Si kakek berbaju putih terbseut membawa teh Angel dan memperlihatkan hutan gunung Ciremai dengan segala misterinya. Awalnya teh Angel hanya menganggap mimpi tersebut biasa-biasa saja. Namun ternyata mimpi itu terus berulang hingga tiga kali dan membuatnya mantap untuk mundur dan gak jadi iut mendaki.


Maklum teh Angel sendiri memang seorang indigo yang bisa berkomunikasi dengan para makhluk tak kasat mata. Dan ternyata mimpi tersebut pun sudah diceritakan kepada teh Nurul dan dimana saja spot-spot yang harus diwaspadai karena disana ada isinya.


Tak hanya itu teh Angel pun setelah melihat video editan saya tentang pendakian ke Gunung Ciremai yang saya unggah ke youtube. Katanya ia melihat ada sosok yang mengasai kita selama pendakian dan sosok tersebut ada di scene saat Kiki melewati pohon besar yang tumbang. Namun kata teh Angel dia hanya melihat sosok bayangan hitam di belakang yang mengawasi kita. Dan tak tahu sosok terebut apakah perempuan atau laki-laki karena tak begitu jelas.


Saya pun langsung teringat saat mengambil scene tersebut. Ada perasaan aneh saat kamera mengarah ke bagian belakang dari pohon tersebut dan saya buru-buru mematikan rekamannya. Lalu setelah itu kamera saya menjadi aneh karena baterainya naik turun gak jelas.


Berikut ini video perjalanan pendakian gunung Ciremai saya yang gak lengkap karena kamera error dan menjadi aneh. Tapi setelah sampai di rumah teh Eno kamera dan baterainya kembali normal dan ternyata masih full.


Mungkin bagi yang indigo juga bisa melihat apa yang dilihat oleh teh Angel di video ini saat scene pada menit ke 4:14 kalau bisa melihat bisa kasih tahu di kolom komentar ya.



Punya cerita yang seru atau mencekam seperti cerita diatas saat mendaki gunung? Kamu bisa kirim ceritamu ke www.jelajahlagi.id dengan klik disini.

Jaenal Jalalludin

Blogger, Fotografer, Backpaker yang suka sekali bertualang terutama naik gunung karena selalu bikin raindu jika sudah diatas sana

1 Komentar

  1. Yang punya kisah unik, seru dan mencekam selama pendakian boleh banget nih kirim kisahnya ke jelajahlagi dengan klik https://www.jelajahlagi.id/p/kirim-artikel.html

    BalasHapus
Lebih baru Lebih lama

نموذج الاتصال